Apakah Hidup Dalam Kesetaraan Berarti ‘Sama’?
Oleh : Cellina Margaretha
Dibacakan oleh : Anis Machfudoh
Lahir sebagai laki-laki ataupun perempuan, keduanya adalah bagian dari lahiriah yang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan sebagai manusia. Sejak lahir, gender dianggap sebagai identitas, yang melekat dalam diri manusia secara genetika. Namun, karena faktor genetika inilah dimulai pemisahan, bagaimana setiap manusia harus bertindak sesuai gendernya dan membentuk stigma dalam masyarakat. Seluruh masyarakat memiliki serangkaian kategori gender yang berperan sebagai dasar pembentukan identitas sosial seseorang serta dalam hubungannya dengan orang lain.
Dibacakan oleh : Anis Machfudoh
Lahir sebagai laki-laki ataupun perempuan, keduanya adalah bagian dari lahiriah yang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan sebagai manusia. Sejak lahir, gender dianggap sebagai identitas, yang melekat dalam diri manusia secara genetika. Namun, karena faktor genetika inilah dimulai pemisahan, bagaimana setiap manusia harus bertindak sesuai gendernya dan membentuk stigma dalam masyarakat. Seluruh masyarakat memiliki serangkaian kategori gender yang berperan sebagai dasar pembentukan identitas sosial seseorang serta dalam hubungannya dengan orang lain.
Di kebanyakan masyarakat,
perbedaan yang paling sederhana ada pada sifat-sifat yang terkait dengan gender
laki-laki dan perempuan yang disebut pula sebagai binari gender yang dianut
oleh kebanyakan orang. Gagasan tersebut juga mendorong penyesuaian hal-hal yang
dinilai maskulin dan feminin di segala aspek seks dan gender: seks biologis,
identitas gender, dan ekspresi gender.
Istilah identitas gender
(bahasa Inggris: gender identity) dan identitas gender inti (bahasa
Inggris: core gender identity) dengan artinya yang sekarang—pikiran dan
rasa seseorang mengenai gendernya sendiri (Morrow, D. F.; Messinger, L., ed.
2006). Baik faktor biologis maupun faktor sosial telah digagas sebagai hal yang
berpengaruh dalam pembentukan identitas gender. Identitas gender inilah yang
pada akhirnya menjadi perdebatan, yaitu saat identitas gender dalam diri
seseorang harus sesuai dengan identitas diri yang menjadi binari gender di
masyarakat pada umumnya. Identitas gender juga membentuk batas dan limitasi
terhadap ekspresi karena ekspresi yang muncul diharapkan sesuai dengan
identitas gender seseorang, dan membawa kepada diskriminasi gender.
Walaupun pembentukan
identitas gender belum dapat diketahui secara menyeluruh, terdapat beberapa
faktor yang telah disebut memiliki pengaruh di dalam perkembangan
pembentukannya. Salah satu yang paling utama adalah sejauh mana identitas
gender ditentukan oleh faktor sosial atau faktor lingkungan dan sejauh mana
juga faktor lahiriah atau biologi berpengaruh. Hal tersebut menjadi perdebatan
di kalangan psikolog dan dikenal dengan istilah nature versus nurture
(alam lawan asuhan). Kedua faktor masing-masing dianggap memiliki peran.
Apakah setiap kita pernah
merasakan diskriminasi gender? Pertanyaan ini jika disikapi secara dangkal,
maka yang mengalami hal tersebut kebanyakan adalah perempuan. Namun jika kita
melihat lebih dalam kepada hal-hal mendasar dalam kehidupan kita, kita bisa
melihat bahwa tidak hanya perempuan yang mengalaminya, namun laki-laki juga
mengalaminya.
Tanpa kita sadari, hampir
semua orang pernah mengalami diskriminasi gender ataupun berbagai perlakuan
tidak adil yang didasari karakteristik gender kita. Diskriminasi gender tidak
hanya sekedar diskriminasi terhadap perempuan – itu terjadi pada laki-laki dan
perempuan. Diskriminasi gender terjadi arena kita belum mampu terlepas dari
persepsi bahwa peran laki-laki dan perempuan dalam lingkungan social sangatlah
sempit dan dipisahkan walau pemisahan tersebut tidak sepenuhnya diperlukan.
Faktor sosial yang dapat
mempengaruhi identitas gender di antaranya adalah gagasan mengenai peran gender
yang digambarkan oleh keluarga, figur penguasa, media, dan orang-orang lain
yang berpengaruh di dalam kehidupan seseorang. Ketika anak dibesarkan oleh seseorang
yang menganut paham peran gender yang ketat, mereka cenderung akan bersikap
sama dan menyamakan identitas gender mereka dengan pola peran gender stereotip
di sekitar mereka tersebut.
Banyak kejadian yang
menempatkan laki-laki dalam posisi tertentu, namun perempuan tidak bisa mendapatkan
posisi tersebut. Kejadian ini membuat perempuan menuntut hak kesetaraan dalam
kaitannya dengan mendapatkan tempat yang sama dengan laki-laki. Namun di sisi
lain, saat bekerja dalam kehidupan sehari-hari, perempuan mendukung
diskriminasi secara tidak langsung dengan hal-hal sederhana seperti menolak
mengangkat barang berat dan memberikan pekerjaan tersebut kepada laki-laki.
Perempuan yang memberikan pekerjaan berat kepada laki-laki walau perempuan
mampu melakukannya adalah dampak dari salah satu binari gender yang secara alam
bawah sadar sudah terpatri dalam dirinya yaitu bahwa laki-laki harus mampu
secara fisik untuk mengangkat barang berat.
Namun meskipun dalam hal
ini laki-laki masih superior dalam lingkungan sosial, laki-laki tidak
mendapatkan edukasi bagaimana cara membedakan tindakannya dalam diskriminasi
terhadap wanita. Dalam dunia yang modern dimana laki-laki memimpin, laki-laki
tidak menyadari bahwa mereka mendiskriminasi perempuan karena mereka tidak
diberikan kesempatan untuk mempelajarinya dengan baik. Bahkan sering laki-laki
berpikir apakah tindakannya mendiskriminasi atau tidak. Laki-laki memiliki
masalah dimana sejak lahir mereka diajarkan bahwa mereka superior karena mereka
adalah laki-laki. Sedangkan wanita tumbuh
dengan persepsi bahwa mereka adalah sosok yang lebih lemah dari laki-laki,
bukan hanya sekedar fisik namun juga secara kedudukan dalam lingkungan sosial.
Perempuan dapat merasa bahwa dirinya tidak lebih baik dari laki-laki karena
lingkungan yang membentuk persepsi tersebut. Hal ini menyebabkan pembentukan
batasan yang secara tidak sadar dimiliki perempuan, bahwa laki-laki berada
diatas perempuan sebagai pemimpin.
Mengeneralisasi
permasalahan antara laki-laki dan perempuan dapat memperbutuk keadaan. Siapakah
yang terkuat dalam lingkungan sosial? Diskriminasi dan ketidak-setaraan muncul
juga karena peran atau kepentingan dalam lingkungan sosial. Semua orang sebagai
manusia haruslah dihargai, tidak hanya yang kuat ataupun yang memiliki kuasa,
mereka yang dewasa ataupun yang kaya, namun semuanya haruslah diperlakukan
setara.
Pernahkah kita mendengar
bahwa laki-laki tidak boleh menangis? Laki-laki yang menangis ataupun yang
mengekspresikan dirinya secara emosional biasanya akan di beri label ‘tidak maskulin’.
Banyak laki-laki yang secara emosional terjebak dalam pandangan ‘wanita mudah
menangis’ dan ‘laki-laki haruslah maskulin’ dengan cara tidak mengekspresikan
hatinya secara terbuka. Terlepas dari identitas gender, laki-laki tetaplah
manusia yang perlu mengekspresikan perasaan secara jujur dan terbuka tanpa
batasan. Eksistensi manusia dengan perasaan adalah hal natural yang tidak dapat
kitab batasi hanya karena ‘gender’ semata.
Dari bahasan diatas, kita
harus membedakan antara diskriminasi dan perbedaan. Secara biologis, ada
perbedaaan diatara kemampuan fisik laki-laki dan perempuan. Adanya pemisahan
pertandingan olahraga anatara laki-laki dan perempuan bukanlah diskriminasi.
Itu adalah pengakuan bahwa memang ada perbedaaan. Sangat natural untuk mengakui
perbedaaan genderm dan saling menolong. Laki-laki yang kuat memang bisa membawa
barang yang berat dan akan aneh jika laki-laki yang kuat hanyalah menonton
perempuan yang membawa barang berat. Tidak ada kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan yang tanpa syarat, namun sangat penting untuk memaksimalkan keunikan
dan kekuatan kedua gender untuk keuntungan kedua belah pihak.
Harapannya, kita tidak
lagi membedakan laki-laki dan perempuan secara sempit. Ada sisi ironis dimana
pendapat rasional dari yang lemah dan minoritas tidaklah diterima oleh mereka
yang kuat ataupun yang memiliki kepentingan. Melihat kembali kebelakang,
penyebab perlawanan agresif yang menuntut kesetaraan gender adalah karena
lingkungan sosial belum sepenuhnya menerima tuntutan yang beralasan dan jujur
dari mereka yang menginginkan kesetaraan tersebut. Jika kita mengambil langkah
menjauh dari pendapat irasional yang menyebabkan ketidak-setaraan, kita
memiliki kesempatan untuk mengubah lingkungan sosial yang dapat mengakui gender
sebagai kekuatan dan bukan pembatas dalam setiap sisi kehidupan.