Apakah Hidup Dalam Kesetaraan Berarti Sama?

Sebisaku Tv

Apakah Hidup Dalam Kesetaraan Berarti Sama?

Monday, 11 May 2020


Apakah Hidup Dalam Kesetaraan Berarti ‘Sama’?

Oleh Cellina Margaretha   
Dibacakan oleh : Anis Machfudoh

Lahir sebagai laki-laki ataupun perempuan, keduanya adalah bagian dari lahiriah yang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan sebagai manusia. Sejak lahir, gender dianggap sebagai identitas, yang melekat dalam diri manusia secara genetika. Namun, karena faktor genetika inilah dimulai pemisahan, bagaimana setiap manusia harus bertindak sesuai gendernya dan membentuk stigma dalam masyarakat. Seluruh masyarakat memiliki serangkaian kategori gender yang berperan sebagai dasar pembentukan identitas sosial seseorang serta dalam hubungannya dengan orang lain.

Di kebanyakan masyarakat, perbedaan yang paling sederhana ada pada sifat-sifat yang terkait dengan gender laki-laki dan perempuan yang disebut pula sebagai binari gender yang dianut oleh kebanyakan orang. Gagasan tersebut juga mendorong penyesuaian hal-hal yang dinilai maskulin dan feminin di segala aspek seks dan gender: seks biologis, identitas gender, dan ekspresi gender.

Istilah identitas gender (bahasa Inggris: gender identity) dan identitas gender inti (bahasa Inggris: core gender identity) dengan artinya yang sekarang—pikiran dan rasa seseorang mengenai gendernya sendiri (Morrow, D. F.; Messinger, L., ed. 2006). Baik faktor biologis maupun faktor sosial telah digagas sebagai hal yang berpengaruh dalam pembentukan identitas gender. Identitas gender inilah yang pada akhirnya menjadi perdebatan, yaitu saat identitas gender dalam diri seseorang harus sesuai dengan identitas diri yang menjadi binari gender di masyarakat pada umumnya. Identitas gender juga membentuk batas dan limitasi terhadap ekspresi karena ekspresi yang muncul diharapkan sesuai dengan identitas gender seseorang, dan membawa kepada diskriminasi gender.

Walaupun pembentukan identitas gender belum dapat diketahui secara menyeluruh, terdapat beberapa faktor yang telah disebut memiliki pengaruh di dalam perkembangan pembentukannya. Salah satu yang paling utama adalah sejauh mana identitas gender ditentukan oleh faktor sosial atau faktor lingkungan dan sejauh mana juga faktor lahiriah atau biologi berpengaruh. Hal tersebut menjadi perdebatan di kalangan psikolog dan dikenal dengan istilah nature versus nurture (alam lawan asuhan). Kedua faktor masing-masing dianggap memiliki peran.

Apakah setiap kita pernah merasakan diskriminasi gender? Pertanyaan ini jika disikapi secara dangkal, maka yang mengalami hal tersebut kebanyakan adalah perempuan. Namun jika kita melihat lebih dalam kepada hal-hal mendasar dalam kehidupan kita, kita bisa melihat bahwa tidak hanya perempuan yang mengalaminya, namun laki-laki juga mengalaminya.
Tanpa kita sadari, hampir semua orang pernah mengalami diskriminasi gender ataupun berbagai perlakuan tidak adil yang didasari karakteristik gender kita. Diskriminasi gender tidak hanya sekedar diskriminasi terhadap perempuan – itu terjadi pada laki-laki dan perempuan. Diskriminasi gender terjadi arena kita belum mampu terlepas dari persepsi bahwa peran laki-laki dan perempuan dalam lingkungan social sangatlah sempit dan dipisahkan walau pemisahan tersebut tidak sepenuhnya diperlukan.

Faktor sosial yang dapat mempengaruhi identitas gender di antaranya adalah gagasan mengenai peran gender yang digambarkan oleh keluarga, figur penguasa, media, dan orang-orang lain yang berpengaruh di dalam kehidupan seseorang. Ketika anak dibesarkan oleh seseorang yang menganut paham peran gender yang ketat, mereka cenderung akan bersikap sama dan menyamakan identitas gender mereka dengan pola peran gender stereotip di sekitar mereka tersebut.

Banyak kejadian yang menempatkan laki-laki dalam posisi tertentu, namun perempuan tidak bisa mendapatkan posisi tersebut. Kejadian ini membuat perempuan menuntut hak kesetaraan dalam kaitannya dengan mendapatkan tempat yang sama dengan laki-laki. Namun di sisi lain, saat bekerja dalam kehidupan sehari-hari, perempuan mendukung diskriminasi secara tidak langsung dengan hal-hal sederhana seperti menolak mengangkat barang berat dan memberikan pekerjaan tersebut kepada laki-laki. Perempuan yang memberikan pekerjaan berat kepada laki-laki walau perempuan mampu melakukannya adalah dampak dari salah satu binari gender yang secara alam bawah sadar sudah terpatri dalam dirinya yaitu bahwa laki-laki harus mampu secara fisik untuk mengangkat barang berat.

Namun meskipun dalam hal ini laki-laki masih superior dalam lingkungan sosial, laki-laki tidak mendapatkan edukasi bagaimana cara membedakan tindakannya dalam diskriminasi terhadap wanita. Dalam dunia yang modern dimana laki-laki memimpin, laki-laki tidak menyadari bahwa mereka mendiskriminasi perempuan karena mereka tidak diberikan kesempatan untuk mempelajarinya dengan baik. Bahkan sering laki-laki berpikir apakah tindakannya mendiskriminasi atau tidak. Laki-laki memiliki masalah dimana sejak lahir mereka diajarkan bahwa mereka superior karena mereka adalah laki-laki. Sedangkan wanita tumbuh dengan persepsi bahwa mereka adalah sosok yang lebih lemah dari laki-laki, bukan hanya sekedar fisik namun juga secara kedudukan dalam lingkungan sosial. Perempuan dapat merasa bahwa dirinya tidak lebih baik dari laki-laki karena lingkungan yang membentuk persepsi tersebut. Hal ini menyebabkan pembentukan batasan yang secara tidak sadar dimiliki perempuan, bahwa laki-laki berada diatas perempuan sebagai pemimpin.

Mengeneralisasi permasalahan antara laki-laki dan perempuan dapat memperbutuk keadaan. Siapakah yang terkuat dalam lingkungan sosial? Diskriminasi dan ketidak-setaraan muncul juga karena peran atau kepentingan dalam lingkungan sosial. Semua orang sebagai manusia haruslah dihargai, tidak hanya yang kuat ataupun yang memiliki kuasa, mereka yang dewasa ataupun yang kaya, namun semuanya haruslah diperlakukan setara.

Pernahkah kita mendengar bahwa laki-laki tidak boleh menangis? Laki-laki yang menangis ataupun yang mengekspresikan dirinya secara emosional biasanya akan di beri label ‘tidak maskulin’. Banyak laki-laki yang secara emosional terjebak dalam pandangan ‘wanita mudah menangis’ dan ‘laki-laki haruslah maskulin’ dengan cara tidak mengekspresikan hatinya secara terbuka. Terlepas dari identitas gender, laki-laki tetaplah manusia yang perlu mengekspresikan perasaan secara jujur dan terbuka tanpa batasan. Eksistensi manusia dengan perasaan adalah hal natural yang tidak dapat kitab batasi hanya karena ‘gender’ semata.

Dari bahasan diatas, kita harus membedakan antara diskriminasi dan perbedaan. Secara biologis, ada perbedaaan diatara kemampuan fisik laki-laki dan perempuan. Adanya pemisahan pertandingan olahraga anatara laki-laki dan perempuan bukanlah diskriminasi. Itu adalah pengakuan bahwa memang ada perbedaaan. Sangat natural untuk mengakui perbedaaan genderm dan saling menolong. Laki-laki yang kuat memang bisa membawa barang yang berat dan akan aneh jika laki-laki yang kuat hanyalah menonton perempuan yang membawa barang berat. Tidak ada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang tanpa syarat, namun sangat penting untuk memaksimalkan keunikan dan kekuatan kedua gender untuk keuntungan kedua belah pihak.

Harapannya, kita tidak lagi membedakan laki-laki dan perempuan secara sempit. Ada sisi ironis dimana pendapat rasional dari yang lemah dan minoritas tidaklah diterima oleh mereka yang kuat ataupun yang memiliki kepentingan. Melihat kembali kebelakang, penyebab perlawanan agresif yang menuntut kesetaraan gender adalah karena lingkungan sosial belum sepenuhnya menerima tuntutan yang beralasan dan jujur dari mereka yang menginginkan kesetaraan tersebut. Jika kita mengambil langkah menjauh dari pendapat irasional yang menyebabkan ketidak-setaraan, kita memiliki kesempatan untuk mengubah lingkungan sosial yang dapat mengakui gender sebagai kekuatan dan bukan pembatas dalam setiap sisi kehidupan.