Kehidupan tak luput dengan urusan perut dan gengsi. Masa lalu dan masa yang akan datang menjadi suatu perenungan.
Mendengar kata 'tani' sudah tidak asing lagi di telinga kita. Apalagi sejak menempuh pendidikan, kita sudah diajarkan bahwa Indonesia adalah negeri agraris. Jika kalian tahu, hidup di desa yang mayoritas petani juga berpengaruh besar dalam kehidupan, mereka sangat bergantung pada hasil pertanian.
"Ora Tani Iso Mati (tidak bertani bisa mati,-red)"
Kompleksitas bahasan pertanian membuat ingatan masa kanak-kanak saya muncul. Tepat di belakang rumah lahan pertanian terbentang luas, kadang posisi sungai yang membelah sawah terlihat ciamik. Belahan terlihat indah bukan? Tanaman Padi ditanam di sana dan ketika sudah mendekati musim panas, terlihat tanaman palawija hadir untuk melengkapi ke--ciamik--an persawahan. Agar hasil panen memuaskan, para petani harus bekerja begitu keras dibawah terik ataupun hujan. Mereka harus pergi pagi-pagi dengan membawa bekal seadanya sebelum nantinya di siang hari, istri atau anak-anaknya mengirimkan bekal untuk makan siang. Biasanya mereka juga menginap di sawah, melakukan pengairan ke sawah masing-masing secara bergantian, ataupun sekedar menjaga tanaman mereka dari hama dan mencabuti tanaman gulma lainnya.
Mengingat masa seperti itu, kadang membuat saya ngiler dengan ke--ciamik--an dan super indahnya bertani. Hempasan angin kepada daun-daun tanaman menambah kenikmatan jagung bakar dan singkong rebus yang dimasak petani di gubuknya.
Khayalan berdiri serang diri di tengah persawahan ditemani padi yang sedang sopan-sopannya, barisan jagung yang mulai menua. Tak ketinggalan pula, singkong yang sedang berusaha menerobos tanah. Berapa lumbung pangan yang harus saya siapkan untuk menampung semua ini? Betapa bahagia perasaan saya dengan hasil panen nanti.
Ampas kopi telah saya sruput, bertanda jika saya harus bangun dari khayalan liar itu. Sekarang saya adalah mahasiswa. Kelak saat mendapatkan gelar sarjana, saya akan mencari perusahaan besar yang mempekerjakan saya. Cukup berpenampilan rapi dengan dasi dan sepatu pantofelnya, duduk di depan komputer. Ruangan sejuk karena AC yang terus menyala. Tangan saya tak perlu menyentuh cangkul atau sabit, cukup keyboard dan mouse saja.
Apa kata keluarga, teman-teman, bahkan tetangga yang super lamis itu ketika saya menjadi petani? Sarjana kok mau pegang cangkul? atau Bagaimana dengan kulit yang putih itu kuat menahan teriknya matahari? Mungkin status saya sebagai cowok seksi dengan kulit putih mulus akan tercoreng. Mungkin juga tidak ada cewek berseragam (idaman saya) yang mau menikah dengan saya.
Bertani akan tetap ada di daftar profesi yang akan saya geluti nanti saat selesai kuliah. Profesi satu ini akan menjadi priorotas terakhir saat saya sudah tidak ada uang untuk sogok si pemberi kerja maupun sekedar ongkos rokok saudara atau orang yang menjadi 'orang dalam'.
Oleh : Adi Ariyanto
Dibacakan oleh : Yeyen Nilmalasari
Mendengar kata 'tani' sudah tidak asing lagi di telinga kita. Apalagi sejak menempuh pendidikan, kita sudah diajarkan bahwa Indonesia adalah negeri agraris. Jika kalian tahu, hidup di desa yang mayoritas petani juga berpengaruh besar dalam kehidupan, mereka sangat bergantung pada hasil pertanian.
"Ora Tani Iso Mati (tidak bertani bisa mati,-red)"
Kompleksitas bahasan pertanian membuat ingatan masa kanak-kanak saya muncul. Tepat di belakang rumah lahan pertanian terbentang luas, kadang posisi sungai yang membelah sawah terlihat ciamik. Belahan terlihat indah bukan? Tanaman Padi ditanam di sana dan ketika sudah mendekati musim panas, terlihat tanaman palawija hadir untuk melengkapi ke--ciamik--an persawahan. Agar hasil panen memuaskan, para petani harus bekerja begitu keras dibawah terik ataupun hujan. Mereka harus pergi pagi-pagi dengan membawa bekal seadanya sebelum nantinya di siang hari, istri atau anak-anaknya mengirimkan bekal untuk makan siang. Biasanya mereka juga menginap di sawah, melakukan pengairan ke sawah masing-masing secara bergantian, ataupun sekedar menjaga tanaman mereka dari hama dan mencabuti tanaman gulma lainnya.
Mengingat masa seperti itu, kadang membuat saya ngiler dengan ke--ciamik--an dan super indahnya bertani. Hempasan angin kepada daun-daun tanaman menambah kenikmatan jagung bakar dan singkong rebus yang dimasak petani di gubuknya.
Khayalan berdiri serang diri di tengah persawahan ditemani padi yang sedang sopan-sopannya, barisan jagung yang mulai menua. Tak ketinggalan pula, singkong yang sedang berusaha menerobos tanah. Berapa lumbung pangan yang harus saya siapkan untuk menampung semua ini? Betapa bahagia perasaan saya dengan hasil panen nanti.
Ampas kopi telah saya sruput, bertanda jika saya harus bangun dari khayalan liar itu. Sekarang saya adalah mahasiswa. Kelak saat mendapatkan gelar sarjana, saya akan mencari perusahaan besar yang mempekerjakan saya. Cukup berpenampilan rapi dengan dasi dan sepatu pantofelnya, duduk di depan komputer. Ruangan sejuk karena AC yang terus menyala. Tangan saya tak perlu menyentuh cangkul atau sabit, cukup keyboard dan mouse saja.
Apa kata keluarga, teman-teman, bahkan tetangga yang super lamis itu ketika saya menjadi petani? Sarjana kok mau pegang cangkul? atau Bagaimana dengan kulit yang putih itu kuat menahan teriknya matahari? Mungkin status saya sebagai cowok seksi dengan kulit putih mulus akan tercoreng. Mungkin juga tidak ada cewek berseragam (idaman saya) yang mau menikah dengan saya.
Bertani akan tetap ada di daftar profesi yang akan saya geluti nanti saat selesai kuliah. Profesi satu ini akan menjadi priorotas terakhir saat saya sudah tidak ada uang untuk sogok si pemberi kerja maupun sekedar ongkos rokok saudara atau orang yang menjadi 'orang dalam'.
Oleh : Adi Ariyanto
Dibacakan oleh : Yeyen Nilmalasari