Sumber gambar: https://www.hipwee.com/
Waktu sudah melewati dua pertiga hari, kelas yang penuh dengan rumus dan persamaan telah usai. Aku berjalan dengan lesu menuju motor yang terparkir dibawah. Motorku melaju dengan malas. Terik matahari menambah keletihan sore itu. Ku tambah kecepatan motor, beban pikiran melayangkan anganku ke sebuah warung dan kesegaran di dalamnya. Di warung dengan dinding berwarna hijau dan tiang berwarna merah aku berhenti. Halaman depan yang penuh dengan motor menggambarkan keramaian didalamnya.
Kunyalakan rokok, hela napas panjang disertai asap mengiringi pesananku yang datang. Obrolan Hatta terhenti sejenak, mereka diam dan saling tatap, seperti menunggu lawan bicaranya berucap. Ku angkat gelas esku, seketika terhenti, 'namanya Hindania' kudengar Hatta bicara. Sambil menikmati es, Ku simak kalimat Hatta yang tak begitu terdengar. Sejak itu aku mengerti apa topik obrolan mereka. Entah bagaimana awalnya, tapi mereka sedang membicarakan Hindania, sang janda cantik dan kaya. Sebelumnya aku pernah mendengar cerita tentang Hindania, di warung kopi dekat sungai. "Cerita itu bersumber dari Hatta" kata orang-orang di warung kala itu. Kini ku dengar dari mulut Hatta sendiri, walaupun tak terdengar dengan lengkap.
"Dia dilahirkan di matahari, hidup waktu fajar lagi menyingsing, disambut oleh angin sepoi yang bertiup dari angkasa serta dinyanyikan oleh suara margasatwa yang amat merdu bunyinya." Kata Hatta menceritakan begitu jelitanya janda ini. Setelah ditinggal mati oleh suami pertamanya, brahmana. Hindania terbujuk menikah lagi dengan wolandia, seorang musafir miskin dari barat. Namun bukan kebahagiaan yang diberikan wolandia, kesengsaraan lah yang ada. Wolandia lebih mencintai harta hindania, dan mengabaikan istri serta anak-anaknya. Banyak kisah kesengsaraan yang dialami Hindania. Sampai akhirnya nipong yang mengaku saudaranya datang. Nipong yang awalnya datang seperti pahlawan, ternyata tak jauh beda dengan wolandia.
Setelah siasatnya berhasil mengusir Wolandia dari rumah Hindania, dia mulai menunjukkan sifat aslinya. Nipong yang memiliki watak kasar begitu tega terhadap Hindania. Sore itu aku ikut larut memikirkan nasib Hindania. Tak terasa sudah tiga batang rokok aku hisab habis. Dari wajah Hatta aku lihat dia begitu peduli dengan Hindania, aku tak tahu apa yang dia rencanakan, tetapi aku yakin dia sedang berencana membantu Hindania keluar dari deritanya. Obrolan Hatta yang belum selesai ku tinggal saat itu juga, aku melangkah menuju kasir lalu pergi meninggalkan warung itu.
Sekian bulan berlalu, ku dengar Hatta dan teman-temannya berhasil mengusir Wolandia sekaligus Nipong dari kehidupan Hindania. Mereka tak mengganggu lagi setidaknya untuk saat ini. Hindania begitu bahagia bisa hidup tenang bersama anak-anaknya. Dirumah yang teduh dan bahagia itu, sore hari Hatta datang bersama teman-temannya mengunjungi Hindania. Setelah perpisahan Hindania dengan Wolandia, dan perginya Nipong sang saudara kejam dari rumah Hindania, Hatta dan teman-temannya memang sering berkunjung ke rumah Hindania.
Namun sore itu nampaknya tak seperti biasanya, mereka datang dengan mobil dan beberapa koper turut serta bersamanya. Dari gelagatnya sepertinya mereka akan berpamitan sore itu. Senyum ramah Hindania menyambut kedatangan mereka sekaligus mempersilahkan tamunya untuk masuk dan duduk didalam rumah. Hindania memanggil anak-anaknya memberitahukan ada tamu yang datang dirumah. “Aku buatkan kopi ya?” tanya Hindania, sejenak mereka bepandangan satu sama lain. Lalu salah satu dari mereka menolak tawaran Hindania dengan sopan.
Karena tidak ingin berlama-lama, Hatta mewakili teman-temannya berpamitan kepada Hindania. “Kami harus pergi, tugas kami disini sudah selesai” ucap Hatta sambil menunduk, Hatta tak mampu melihat kesedihan Hindania karena akan mereka tinggal. “Aku rasa anak-anakmu sudah tumbuh dewasa dan mampu menjagamu” lanjut Hatta. Hindania hanya terdiam, kenangan akan kebaikan orang-orang didepannya membuat dia tak tahu harus berkata apa. Dia malu karena tak mampu membalas kebaikan orang-orang ini. Tak kunjung mendapat jawaban, salah satu teman Hatta berdiri, tanda akan pergi dari rumah Hindania, Serentak para tamu berdiri. Hindania mengantarkan tamunya kehalaman rumah. Sebelum naik ke mobil, satu persatu tamu menyalami Hindania. Hindania tak kuasa menahan tangisnya. Tapi Hatta dan teman-temannya tetap harus pergi, mereka mendapat tugas ditempat lain. Entah dimana, tak ada yang pernah tahu.
Bertahun-tahun setelah kepergian para pahlawan itu, kini Hindania sudah berumur 72 tahun, di usia yang sudah tua, tentu orang akan berharap kebahagiaan yang hadir dihari-harinya. Menikmati sore sambil bermain dengan cucu, atau sekedar minum teh bersama anak-anaknya. Tetapi bayangan itu hanya menjadi bayang-bayang, anak-anaknya yang sudah dewasa ternyata tak peduli dengannya. Hindania diusir dari rumahnya sendiri. Sifat Wolandia yang begitu gila harta, tak disangka menurun ke anak-anaknya.
Hindania yang tak berdaya, hanya bisa menangis diatas sajadah sambil mengadu akan nasibnya. Anak yang dia besarkan sendiri, ternyata begitu tega dengannya. Anaknya memang tak pernah lupa akan hari lahirnya pada 17 Agustus. Namun apalah arti kemeriahan ditanggal itu, jika ibunya sendiri mereka lupakan, mereka hanya kenal harta ibunya. Dipesta itu mereka anggap ibunya telah mati.
Tak hanya Hindania, putrinya yang bernama Iriana ternyata juga mengalami kemalangan itu. Perempuan berambut ikal dan kulit yang sedikit lebih gelap dari saudaranya, mengalami perlakuan yang kejam dari saudara-saudaranya. Dia dijual ke teman-teman saudaranya. Malangnya Iriana hingga ia ingin kabur dari rumah. Namun saudaranya yang selalu menghalangi dengan dalih mereka adalah keluarga yang tidak boleh berpisah.
Sore itu kudengar semua kemalangan Hindania, disebuah warung yang berjarak tak begitu jauh dari rumah Hindania, sang ibu penjaga warung bercerita panjang kepadaku. Namun, apa yang bisa ku perbuat?. Aku hanya mahasiswa, tak mungkin aku mencampuri masalah keluarga orang lain. Di perjalanan pulang terbesit dipikiranku, kenapa juga aku harus peduli dengan Hindania?, Apa untungnya buat aku?, sama sekali tidak ada hubungannya dengan hidupku, bahkan nilai IPK-ku takkan berubah jika saja masalah ini kuselesaikan. Maka sesampainya dirumah, aku putuskan sedikit pun tidak akan memikirkan masalah Hindania, itu urusan mereka, dan juga hanya membuang-buang waktuku saja.
*terinspirasi dari cerpen Mohammad Hatta
Oleh : Ahmad Mizdad Hudani
Dibacakan oleh : Dina Fadhilah