Dibacakan oleh : Dina Fadhilah
Demokrasi dan kesejahteraan yang dinikmati Indonesia saat ini adalah buah perlawanan panjang. Sejarah mencatat, bahwa negara-negara demokratis di dunia tidak lahir begitu saja. Ada serangkaian revolusi, perjuangan melawan pemimpin militer, otoritarianisme dan oligarki dalam perjuangan demokrasi. Di Jerman, pmerintahan yang dipilih secara demokratis pada tahun 1932 menghasilkan Hitler yang fasis. Jenny DA menceritakan bagaimana pemerintahan Hitler berhasil memanfaatkan krisis ekonomi, menciptakan pemerintahan totaliter dan membunuh demokrasi dengan propaganda rasisme dan kebencian.
Di Mesir, untuk menggulingkan satu pemerintahan korup Hosni Mubarok, menggerakkan rakyat Mesir untuk melakukan revolusi. Revolusi yang terkenal dengan revolusi Mesir terjadi pada tahun 2011 dan belakangan disebut bagian dari musim semi Arab (arab spring). Seperti ditulis Michael Hoffman dalam Religion in The Arab Spring: Two Narratife, revolusi Mesir melahirkan pemerintahan berideologi semi-fasis yang dimotori oleh Ikhwanul Muslimin. Ikhwanul Muslimin kemudian dikudeta oleh pemimpin militer bernama Jendral Abdullah Sisi.
Indonesia memiliki sejarah panjang dibawah rezim militer hampir 32 tahun. Informasi tidak bisa diakses secara terbuka oleh semua orang. Suara kritis dibungkam. Perjuangan meraih demokrasi yang kita nikmati hari ini melalui banyak batu uji, pengorbanan dan perlawanan. Meski kondisi Indonesia tentu tidak bisa disamakan dengan dua negara yang disebut diatas. Tapi kondisi demokrasinya mengkhawatirkan. Menurut laporan the Economist dalam rilis kualitas demokrasi di berbagai negara, Indonesia terus mengalami penurunan kualitas demokrasi.
Berada pada peringkat 48 dari 167 yang diindeks pada tahun 2016, kualitas demokrasi Indonesia merosot jauh pada tahun 2017. Pada tahun 2017, Indonesia masuk dalam urutan 68 dengan skor 6,97. Indonesia lebih buruk dibandingkan Timor Leste. Pada tahun yang sama, Timor Leste memiliki peringkat 43. Pada tahun 2019, Indonesia mengalami kenaikan empat peringkat menuju 64 dengan skor demokrasi 6.48. Jauh dibawah negara-negara tetangga lainnya seperti Malaysia 43, atau Timor Leste yang berada pada posisi 41 ditahun 2020.
Ada lima kategori yang digunakan untuk mengukur kualitas demokrasi dalam laporan teh Economist. Lima kategori tersebut adalah pemilihan umum yang bebas, terbuka dan bisa dipertanggungjawabkan, kebebasan sipil, fungsi pemerintahan, partisipasi politik dan budaya politik. Dari kategori tersebut, negara-negara yang diteliti diklasifikasikan menjadi empat jenis rezim : demokrasi penuh (full democacy), setengah demokrasi (flawed democracy), rezim campuran (hybrid regime), dan yang terakhir adalah rezim otoritarian (authoritarian regime) (lihat the Economist Democracy Index) .
Dalam kalsifikasinya, Indonesia digolongkan sebagai negara setengah demokrasi atau flawed democracy. Bukan negara demokrasi penuh atau full democracy. Artinya Indonesia masih memiliki masalah budaya demokrasi dan partisipasi politik yang belum sempurna. Dan kasus peretasan warga negara yang kritis di media sosial, penggiat demokrasi, peneliti di Westminter Open Parliament seperti Ravio Patra membuka preseden buruk bagi demokrasi. Yakni demokrasi bagi masyarakat digital kita.
Otoritarianisme Digital
Teknologi digital bisa mendorong proses demokratsisasi. Media sosial, sebagai contoh, memberi setiap warga negara kesempatan untuk bersuara. Akan tetapi, teknologi digital juga bisa dimanfaatkan untuk membunuh demokrasi ‘dalam cara yang masih sulit untuk dipahami atau dijelaskan’. Kita ingat dua mega skandal yang melibatkan Facebook pada pemilihan AS dan Brexit. Selain itu, teknlogi digital di berbagai negara juga dapat digunaan sebagai alat untuk melakukan represi.Dalam laporan Oxford Internet Institute yang berjudul The Global Disinformation Order 2019 menyebut penggunaan computational propaganda untuk membungkan mereka yang berbeda, melakukan manipulasi opini publik dan alat kampanye pemerintah atau partai politik di lebih dari 60 negara. Computational propaganda merujuk pada teknik pembentukan opini melalui big data, teknologi, buzzer-buzzer dan media sosial. Dalam laporan tersebut, nilai bisnis buzzer di Indonesia disebut mencapai 50 juta untuk satu kontrak. Otoritarianisme digital sangat jarang disinggung oleh banyak pihak, padahal penggunaan media digital sudah menjadi konsumsi sebagian besar masyarakat.
Ron Deibert dalam papernya Authoritarianisme Goes Global : Cyberspace Undersiege menyebut bahwa otoritarinisme digital bukan hanya masalah pemblokiran akses internet oleh pemerintah di suatu wilayah tertentu. Otoritarianisme juga berarti tekanan negara pada partisipasi proses politik yang demokratis, pengendalian emosi dan ketakutan, represi kepada masyarakat sipil dan kontrol informasi. Dan tekonologi digital memiliki kemungkinan luas untuk melakukan tindakan non-demokratis melalui pengawasan mata-mata (surveillance), sensor media (censorship), manipulasi opini publik yang tertarget dengan lebih presisi dan bentuk-bentuk pembungkaman pada suara-suara kritis di media sosial.
Deibert menyebut ada tiga generasi otoritarianisme digital. Pertama defensif, pada tahap ini pemerintah membatasi secara ketat informasi yang boleh diakses oleh publik. Contoh utamanya adalah sistem great farewall China yang memfilter kata kunci dan alamat website tertentu yang bisa diakses publik. Generasi kedua, kontrol informasi yang jauh lebih ketat melalui mekanisme hukum dan regulasi atau tekanan sektor privat oleh ikatan dan permintaan kepentingan jaringan negara (state). Dalam hal ini ambil contoh adalah pasal-pasal karet dalam UU ITE. Dan yang terakhir adalah terjadinya pengawasan mata-mata (surveillence), spionase digital dan bentuk pengawasan lainnya dalam dunia digital. Baik melalui retasan media sosial atau penjebolan privasi data. Jika pada generasi pertama sifatnya defensif, maka pada generasi ketiga ini sifatnya ofensif. Bentuk serangan ini bisa mengarah pada nilai-nilai, prinsip dan aktor dari demokrasi.
Jika dilihat dari kacamata tersebut, Indonesia sudah memasuki fase lanjut otoritarianisme digital. Pembungkaman melalui UU ITE, buzzer-buzzer yang jelas nampak adanya di media sosial, polarisasi di dunia digital dan peretasan akun media sosial. Kasus peretasan Ravio Patra meski telah dibebaskan menjadi preseden buruk bagi demokrasi yang sehat di Indonesia dan mengarah ke bentuk otoritarianisme digital. Terlepas belum jelas dalang dibaliknya siapa. Apa negara atau memang pengadu domba. Dan seringkali, otoritarianisme digital adalah jebakan diantara kebebasan dan efektifitas kekuasaan. Tapi jika setiap suara kritis di media sosial bisa dibungkam, setiap pertemuan daring bisa diretas, lalu dimana akan terjadi percapakan publik dan warga negara yang sehat. Yang peduli kepada negaranya dengan mengatakan kebenaran dan kesalahan secara jernih.
Krisis, Warga Negara dan Antidote Otoritarianisme
Indonesia saat ini sedang menghadapi bencana non-alam berupa pandemi Covid-19. Presiden Jokowi telah mengeluarkan Perppu dan Keppres untuk mempercepat penganggulangan pandemi Covid-19. Kita sepertinya sepakat bahwa saat ini adalah situasi krisis yang belum ada presedennya dalam sejarah. Pemerintah mengucurkan dana 400 T lebih untuk penanggulangan krisis.Di saat yang bersamaan, pemerintah melalui Kementrian Perekonomian juga meluncurkan paket kartu pra-kerja dengan dalih memperkuat jaring pengaman sosial bagi para pekerja yang terdampak. Nilainya hampir 20 T. Proyek peluncuran ini disertai banyak kecurigaan publik karena dinilai tidak transparan. Kucuran dana tersebut dalam peraturan yang ditandatangai pemerintah bukan merupakan objek gugatan karena alasan kondisi krisis. Di sisi lain, simpang siur muncul isu penjarahan yang akan terjadi secara besar-besaran oleh kelompok yang dinamakan Anarko. Ravio Patra masuk dalam tuduhan rencana tersebut.
Ravio Patra ditangkap oleh Polda Metro Jaya dinihari setelah WAnya diretas. Sebagaimana dilansir oleh Asusmsi.co, Ravio dituduh menyebarkan pesan ‘penjarahan’ ke banyak orang melalui platform WA. Peretasan dan penangkapan aktivis yang sering menyuarakan suara kritis pada pemerintah tentang transparansi ini menimbulkan banyak tanda tanya. Sebelum ditangkap, nomor ponselnya dihubungi oleh nomor yang tidak dikenal berasal dari Malaysia dan Amerika. Setelah dilacak menggunakan aplikasi TrueCaller, nomor tersebut tertuju pada dua nama aparat keamanan.
Meski per siang jam 11 ini ketika artikel ini ditulis, yang bersangkutan telah dibebaskan dan dinyatakan statusnya sebagai saksi saja. Ravio terakhir terlihat mengkritik keras staff khusus milenial Jokowi, Billy Mambrassar yang mengalirkan bantuan untuk daerah Papua melalui koperasi miliknya sendiri. Dan oleh karenanya, beberapa pihak mencoba mencari keterkaitannya. Tapi sebenarnya sudah semenjak lama Ravio terlibat dalam upaya keterbukaan informasi pemerintah melalui keterlibatannya sebagai Steering Commitee Open Government Partnership (OPG). Berbagai kritiknya di media sosial twitternya mengarah pada keterbukaan informasi. Terakhir Ravio menulis esai kritik penanganan pandemi Covid-19 di media Tirto.id masalah payahnya keterbukaan informasi pemerintah.
Keterbukaan informasi dan peran warga negara adalah pilar demokrasi. Selain itu keduanya juga merupakan faktor penting melawan Covid-19 ini. Yuval Noah Harari dalam esainya the World After Coronavirus menyebut tiga faktor penting keberhasilan negara-negara seperti Korea Selatan, Taiwan dan Singapura dalam menghadapi krisis Covid-19. Yuval Noah Harari dalam esainya The World After Coronaviruses menyebut tiga hal tersebut adalah test masal yang masif, laporan dan data yang baik serta warga negara yang kritis memiliki informasi yang baik (well-informed citizens). Tanpa ketiga hal tersebut, mustahil Covid-19 bisa diatasi. Dan kasus Ravio ini menjadi preseden buruk bagi penanganan krisis serta demokrasi. Dan sayangnya Indonesia nampak buruk dan terseok-seok dalam menangani krisis sekaligus mempertahankan kualitas demokrasi. Jika menggunakan klasifikasi Deibert diatas untuk melihat kasus Ravio, kita patut khawatir Indonesia sudah memasuki generasi ketiga otoritarianisme digital. Dan antidote otoritarianisme tersebut adalah pendidikan informasi yang baik bagi warga negara. Bukan membungkan informasi kritis oleh warga negara.
Kita perlu menang melawan pandemi Covid-19 ini. Disaat yang bersamaan, kita juga harus menjaga kualitas demokrasi yang ada. Di media sosial twitter trending hastgag #BebaskanVario sebagai pelintiran tagar #BebaskanRavio. Penulis diserang oleh banyak akun gara-gara membela demokrasi dan Ravio Patra secara bersamaan di Twitter. Seolah ada design sistematis dalam sengkarut masalah ini. Penulis dikritik bahwa urusan demokrasi tidak penting karena kesehatan dan kebutuhan perut warga negara harus didahulukan. Justru penulis percaya, bahwa demokrasi adalah satu-satunya jalan mencapai kesejahteraan dan kebaikan publik. Peran masyarakat sipil sangat penting dalam situasi seperti ini. Meski kadang berisik dan dinilai lamban, tapi kita harus mencegah otoritarianisme digital sekarang juga dan menghentikan pandemi secara bersamaan. Ini masa-masa yang sulit dan belum pernah ada presedennya dalam sejarah. Segala hal yang terjadi akan menjadi preseden seperti apa kehidupan kita selanjutnya nanti. Mengutip pernyataan seorang filsuf asal Wina, Otto Neurath (1882-1945), meski kita belum memiliki perahu untuk menyebrangi sungai, tapi membiarkan kita hanyut tenggelam bukanlah sebuah pilihan. Kita harus terus berfikir bagaimana menemukan perahu sembari terus berenang dalam gelombang yang deras.
Atau memang kita berharap semuanya akan menjadi lebih buruk saat ini dan di kehidupan mendatang setelah wabah ini berlalu? Apa kita harus membiarkannya jebakan tersebut begitu saja? Tentu jawabannya sudah jelas. Tidak.