Oleh : M. Aufa Cholil Fayyadl
Dibacakan oleh : Arya Kusuma Wijaya
Menjadi wanita bukanlah pilihan.
Menjadi wanita adalah anugerah, sekalipun lebih sering menjadi korban anu
gerah. Menjadi wanita itu asyik, apabila cantik. Kalau tidak cantik, sekarang
banyak salon kok... banyak juga skin care murahan. Tidak enaknya
menjadi wanita adalah ketika PMS (Pre-Menstruation Syndrome), sakit!
Katanya sich. Saya bukan seorang wanita soalnya. Terlepas dari rasa
sakit itu, mengenai wanita haid, ia dibahas oleh al-Quran melalui al-Baqarah: 222.
Terjemahannya seperti ini: Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang
haid. Katakanlah, “Itu adalah sesuatu yang kotor.” Karena itu jauhilah istri
pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan
menyukai orang yang menyucikan diri.
Melalui terjemah itu, ada dua hal
yang menjadi masalah. Pertama, katakanlah, “Itu –haid- adalah
sesuatu yang kotor.” Kedua, Karena itu jauhilah istri pada waktu
haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci.. Dua hal ini
menurut saya adalah masalah. Masalah pertama, untuk apa al-Quran memberi
informasi bahwa darah haid adalah darah kotor? Bukankah sepanjang pengetahuan
manusia, tidak ada satu pun manusia yang mengatakan darah haid itu suci dan
bersih. Berikutnya, masalah yang kedua, untuk apa al-Quran memberi
perintah menjauhi wanita haid? Bukankah wanita haid inginnya selalu dimanja
ya?! Apalagi ketika PMS... sakit banget! Pengennya mager! Males gerak!
Katanya sih. Sekali lagi, ini cuma katanya. Saya hanyalah seorang laki-laki
yang tidak mungkin merasakan haid, sekalipun berubah menjadi transgender.
Singkat kata, kenapa al-Quran meminta agar wanita dijauhi ketika haid? Nggak
adil banget kan?!
Tulisan ini akan berusaha menyoal
kembali mengenai respon al-Quran terhadap wanita haid. Wanita butuh keadilan.
Wanita butuh perlindungan. Wanita butuh mengadu pada al-Quran. Tapi kenapa
al-Quran malah terlihat nggak adil banget? Tulisan ini akan berusaha melihat
lebih dalam maksud al-Baqarah: 222. Nggak mungkin al-Quran tidak adil. Nggak
mungkin al-Quran tidak ngayomi. Mungkin kita yang salah faham, kalau hanya mengacu
pada terjemah saja. Kalau salah faham, jadinya kita memiliki faham yang salah. Oleh
karenanya, lebih jauh penulis akan melihat sebab turun (asbāb
nuzūl) al-Baqarah: 222, serta yang dilakukan nabi setelah
turunnya al-Baqarah: 222. Apakah benar nabi ‘menjauhi’ istrinya setelah
al-Baqarah: 222?
Mengacu pada sebab turunnya,
al-Baqarah: 222 diturunkan di Madinah, bukan di Makkah. Apabila diterjemahkan,
sebab turun al-Baqarah: 222 adalah seperti ini dari
Anas b. Malik RA. (Raḍiyallāhu ‘anhu), ia berkata: apabila wanita Yahudi datang
bulan, mereka -orang-orang Yahudi- tidak memberinya makan, minum dan tempat
tinggal satu atap. Maka Anas bertanya kepada Nabi SAW. mengenai masalah ini.
Lalu, turunlah QS 2: 222. Melalui ayat ini, Nabi memerintah orang Yahudi untuk
memberi makan, minum, tinggal satu atap dan bebas melakukan aktivitas apapun
dengan wanita datang bulan kecuali senggama. Lalu, orang Yahudi berkata,
“Apakah Muhammad menginginkan kita agar acuh terhadap urusan kita, kecuali kita
meninggalkannya?!” Kemudian, Ibad b. Basyar dan Usaid b. Huḍair mendatangi Muhammad
seraya berkata, “Apakah kita tidak boleh senggama dengan wanita datang bulan?”
Mendengar itu, wajah Rasul berubah, hingga Ibad dan Usaid mengira Rasul marah
kepada mereka. Lalu, Rasul mengirim kepada mereka berdua susu, menuangkannya,
hingga mereka tau bahwa rasul tidak marah.
Mengacu pada sebab turun di
atas, kita bisa melihat bahwa orang Yahudi yang tinggal di Madinah waktu itu
tidak memberi makan, minum dan tempat tinggal satu atap bagi wanita haid.
Kenapa Yahudi melakukan hal demikian? Soalnya, wanita pada masa itu adalah
manusia kelas dua. Atau bahkan, ada yang bilang, wanita adalah makhluk di
bawahnya manusia, di atasnya hewan. Sehingga, menjadi sah apabila wanita tidak
diperlakukan selayaknya manusia. Membaca data ini, ini kan jahat banget! Tapi ya
mau bagaimana lagi? Namanya juga orang-orang jahiliyyah! Kalau tidak sebodoh
itu, mungkin al-Quran tidak turun pada mereka.
Dengan latar demikian,
turunlah al-Baqarah: 222 yang menginformasikan bahwa, darah haid itu memang kotor,
namun yang kotor cuma darah haidnya saja, bukan orangnya. Melalui ayat ini,
al-Quran ingin menyampaikan ideal moral bahwa, wanita juga manusia, bukan
makhluk di bawahnya manusia. Sekalipun darah haid itu kotor, laki-laki tidak
punya alasan untuk berbuat kasar pada wanita. Wanita yang haid itu sedang
rapuh-rapuhnya! Seharusnya, laki-laki yang disebut al-Quran sebagai pelindung
wanita -al-Rijālu Qawwāmūna ‘ala al-Nisā’ (al-Nisa: 34)- melindungi dan mengayomi,
bukan jijik dan berlaku keras pada wanita
Ketika ayat ini turun, tentu
al-Baqarah: 222 mendapat respon sangat keras oleh orang-orang pada waktu itu.
Bahkan, Ibad dan Usaid yang nota bene-nya adalah sahabat nabi, protes
terhadap al-Baqarah: 222, mengapa wanita harus dimuliakan? Bukankah selama ini wanita
hanyalah pemuas nafsu saja? Tapi itulah al-Quran, melalui darah haid yang
kotor, al-Quran membawa ideal moral yang suci. Melalui darah haid yang kotor, al-Quran
ingin mengangkat derajat wanita. Manusia tidaklah terbatas kepada laki-laki
saja, wanita juga manusia!
Berikutnya, apa yang
dilakukan nabi kepada istri-istrinya ketika ayat ini turun? Apakah nabi
menjauhi istri-istrinya sesuai perintah al-Baqarah: 222, jauhilah
istri pada waktu haid? Mengutip penjelasan Ibn Kaṡīr dalam tafsirnya:
ketika al-Baqarah: 222 ini turun, nabi memanggil istrinya, A’isyah. Tentu
A’isyah tidak mau karena ia sedang haid. Hal ini dikarenakan, wanita waktu itu
tidak mungkin mendekati laki-laki ketika haid. Mereka merasa kotor. Mereka
merasa najis. Bagaimana mungkin makhluk kotor di bawah manusia berani mendekati
laki-laki suci yang manusia? Namun, nabi tetap meyakinkan agar A’isyah
mendekat. Akhirnya A’isyah mendekat. Nabi memberi A’isyah selembar kain untuk
digunakan sebagai pembalut. Tentu ini aneh. Belum ada sebelumnya orang yang
berinisiatif untuk menciptakan pembalut kecuali nabi. A’isyah pun nurut. Lalu,
nabi meminta agar A’isyah duduk di samping nabi. Kemudian, nabi tidur di
pangkuan A’isyah.
Itulah yang dilakukan nabi.
Romantis banget! Serius... Romantis banget! Wanita mana yang tidak bahagia
diperlakukan seperti itu? Mungkin setelah itu A’isyah menangis sejadi-jadinya.
Soalnya, sebelum al-Baqarah: 222 wanita bukanlah manusia; sedangkan setelah
al-Baqarah: 222, wanita benar-benar dimanusiakan. Oleh nabi, A’isyah dimanja. Oleh
nabi, A’isyah mendapat perlakukan romantis. A’isyah bisa mengadu apapun kepada
nabi.
Melalui riwayat ini, kita gagal
faham apabila hanya mengacu pada terjemah. Riwayat ini memberi informasi
mengenai cara nabi mengamalkan al-Baqarah: 222. Nyatanya nabi tidak menjauhi
istrinya ketika istrinya sedang haid. Lalu, bagaimana tafsir jauhilah istri
pada waktu haid? Alī Ṣābūnī,
melaui Rawā’i al-Bayān Tafsīr
Āyāti al-Ahkām menjelaskan
bahwa, maksud dari jauhilah istri pada waktu haid adalah jangan wik wik
dengan istrimu ketika haid. Sudah faham kan apa itu wik wik? Soalnya wik wik
ketika haid itu saaaaaakiiiit! Lebih jauh, Alī Ṣābūnī
menjelaskan bahwa, wik wik adalah usaha membuahi ovum. Sedangkan haid adalah
ovum yang sudah kadaluarsa. Ia menjijikkan, kental, merah kehitam-hitaman,
baunya tidak enak, dan sumber penyakit. Apabila memaksa wik wik dengan wanita
haid, bagaimana mungkin membuahi ovum yang sudah kadaluarsa? Terlalu banyak
bahaya apabila memaksa wik wik dengan wanita haid. Si wanita bisa terkena
radang rahim. Si laki-laki bisa terkena penyakit. Apabila wik wik membuahkan
hasil, maka akan lahir anak yang cacat.
Inilah al-Baqarah: 222!
Al-Baqarah: 222 diturunkan bukan untuk memberi informasi bahwa darah haid itu
kotor. Namun, melalui darah haid yang kotor, al-Baqarah: 222 membawa ideal
moral yang suci. Al-Baqarah: 222 ingin mengangkat derajat wanita yang
senantiasa diinjak-injak oleh laki-laki di zaman Jahiliyyah. Berikutnya,
al-Baqarah: 222 juga tidak memerintah untuk menjauhi wanita yang sedang haid.
Sebaliknya, nabi sangat mesra dengan A’isyah ketika A’isyah haid. Adapun yang
dilarang adalah wik wik dengan wanita haid. Ia adalah sumber penyakit. Dengan
begini, wanita haid berhak untuk dimanja, dimengerti, qaulity time,
didengarkan, dan segala perlakukan romantis lainnya, seperti nabi memperlakukan
A’isyah. Dari uraian ini, dapat disimpulkan bahwa, ideal moral al-Baqarah: 222
adalah pertama wanita juga manusia, karena yang manusia bukanlah
laki-laki saja. Kedua, wanita berhak memperoleh haknya sekalipun sedang
haid, yang tidak boleh adalah wik wik dengan wanita yang sedang haid.