Wanita, Haid dan al-Quran
Minggu, 13 April 2025

Sebisaku Tv

Wanita, Haid dan al-Quran

Thursday, 7 May 2020


Oleh : M. Aufa Cholil Fayyadl
Dibacakan oleh : Arya Kusuma Wijaya

Menjadi wanita bukanlah pilihan. Menjadi wanita adalah anugerah, sekalipun lebih sering menjadi korban anu gerah. Menjadi wanita itu asyik, apabila cantik. Kalau tidak cantik, sekarang banyak salon kok... banyak juga skin care murahan. Tidak enaknya menjadi wanita adalah ketika PMS (Pre-Menstruation Syndrome), sakit! Katanya sich. Saya bukan seorang wanita soalnya. Terlepas dari rasa sakit itu, mengenai wanita haid, ia dibahas oleh al-Quran melalui al-Baqarah: 222. Terjemahannya seperti ini: Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah sesuatu yang kotor.” Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.

Melalui terjemah itu, ada dua hal yang menjadi masalah. Pertama, katakanlah, “Itu –haid- adalah sesuatu yang kotor.” Kedua, Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci.. Dua hal ini menurut saya adalah masalah. Masalah pertama, untuk apa al-Quran memberi informasi bahwa darah haid adalah darah kotor? Bukankah sepanjang pengetahuan manusia, tidak ada satu pun manusia yang mengatakan darah haid itu suci dan bersih. Berikutnya, masalah yang kedua, untuk apa al-Quran memberi perintah menjauhi wanita haid? Bukankah wanita haid inginnya selalu dimanja ya?! Apalagi ketika PMS... sakit banget! Pengennya mager! Males gerak! Katanya sih. Sekali lagi, ini cuma katanya. Saya hanyalah seorang laki-laki yang tidak mungkin merasakan haid, sekalipun berubah menjadi transgender. Singkat kata, kenapa al-Quran meminta agar wanita dijauhi ketika haid? Nggak adil banget kan?!

Tulisan ini akan berusaha menyoal kembali mengenai respon al-Quran terhadap wanita haid. Wanita butuh keadilan. Wanita butuh perlindungan. Wanita butuh mengadu pada al-Quran. Tapi kenapa al-Quran malah terlihat nggak adil banget? Tulisan ini akan berusaha melihat lebih dalam maksud al-Baqarah: 222. Nggak mungkin al-Quran tidak adil. Nggak mungkin al-Quran tidak ngayomi. Mungkin kita yang salah faham, kalau hanya mengacu pada terjemah saja. Kalau salah faham, jadinya kita memiliki faham yang salah. Oleh karenanya, lebih jauh penulis akan melihat sebab turun (asbāb nuzūl) al-Baqarah: 222, serta yang dilakukan nabi setelah turunnya al-Baqarah: 222. Apakah benar nabi ‘menjauhi’ istrinya setelah al-Baqarah: 222?

Mengacu pada sebab turunnya, al-Baqarah: 222 diturunkan di Madinah, bukan di Makkah. Apabila diterjemahkan, sebab turun al-Baqarah: 222 adalah seperti ini dari Anas b. Malik RA. (Raḍiyallāhu ‘anhu), ia berkata: apabila wanita Yahudi datang bulan, mereka -orang-orang Yahudi- tidak memberinya makan, minum dan tempat tinggal satu atap. Maka Anas bertanya kepada Nabi SAW. mengenai masalah ini. Lalu, turunlah QS 2: 222. Melalui ayat ini, Nabi memerintah orang Yahudi untuk memberi makan, minum, tinggal satu atap dan bebas melakukan aktivitas apapun dengan wanita datang bulan kecuali senggama. Lalu, orang Yahudi berkata, “Apakah Muhammad menginginkan kita agar acuh terhadap urusan kita, kecuali kita meninggalkannya?!” Kemudian, Ibad b. Basyar dan Usaid b. Huḍair mendatangi Muhammad seraya berkata, “Apakah kita tidak boleh senggama dengan wanita datang bulan?” Mendengar itu, wajah Rasul berubah, hingga Ibad dan Usaid mengira Rasul marah kepada mereka. Lalu, Rasul mengirim kepada mereka berdua susu, menuangkannya, hingga mereka tau bahwa rasul tidak marah.

Mengacu pada sebab turun di atas, kita bisa melihat bahwa orang Yahudi yang tinggal di Madinah waktu itu tidak memberi makan, minum dan tempat tinggal satu atap bagi wanita haid. Kenapa Yahudi melakukan hal demikian? Soalnya, wanita pada masa itu adalah manusia kelas dua. Atau bahkan, ada yang bilang, wanita adalah makhluk di bawahnya manusia, di atasnya hewan. Sehingga, menjadi sah apabila wanita tidak diperlakukan selayaknya manusia. Membaca data ini, ini kan jahat banget! Tapi ya mau bagaimana lagi? Namanya juga orang-orang jahiliyyah! Kalau tidak sebodoh itu, mungkin al-Quran tidak turun pada mereka.

Dengan latar demikian, turunlah al-Baqarah: 222 yang menginformasikan bahwa, darah haid itu memang kotor, namun yang kotor cuma darah haidnya saja, bukan orangnya. Melalui ayat ini, al-Quran ingin menyampaikan ideal moral bahwa, wanita juga manusia, bukan makhluk di bawahnya manusia. Sekalipun darah haid itu kotor, laki-laki tidak punya alasan untuk berbuat kasar pada wanita. Wanita yang haid itu sedang rapuh-rapuhnya! Seharusnya, laki-laki yang disebut al-Quran sebagai pelindung wanita -al-Rijālu Qawwāmūna ‘ala al-Nisā’ (al-Nisa: 34)- melindungi dan mengayomi, bukan jijik dan berlaku keras pada wanita

Ketika ayat ini turun, tentu al-Baqarah: 222 mendapat respon sangat keras oleh orang-orang pada waktu itu. Bahkan, Ibad dan Usaid yang nota bene-nya adalah sahabat nabi, protes terhadap al-Baqarah: 222, mengapa wanita harus dimuliakan? Bukankah selama ini wanita hanyalah pemuas nafsu saja? Tapi itulah al-Quran, melalui darah haid yang kotor, al-Quran membawa ideal moral yang suci. Melalui darah haid yang kotor, al-Quran ingin mengangkat derajat wanita. Manusia tidaklah terbatas kepada laki-laki saja, wanita juga manusia!
Berikutnya, apa yang dilakukan nabi kepada istri-istrinya ketika ayat ini turun? Apakah nabi menjauhi istri-istrinya sesuai perintah al-Baqarah: 222, jauhilah istri pada waktu haid? Mengutip penjelasan Ibn Kaṡīr dalam tafsirnya: ketika al-Baqarah: 222 ini turun, nabi memanggil istrinya, A’isyah. Tentu A’isyah tidak mau karena ia sedang haid. Hal ini dikarenakan, wanita waktu itu tidak mungkin mendekati laki-laki ketika haid. Mereka merasa kotor. Mereka merasa najis. Bagaimana mungkin makhluk kotor di bawah manusia berani mendekati laki-laki suci yang manusia? Namun, nabi tetap meyakinkan agar A’isyah mendekat. Akhirnya A’isyah mendekat. Nabi memberi A’isyah selembar kain untuk digunakan sebagai pembalut. Tentu ini aneh. Belum ada sebelumnya orang yang berinisiatif untuk menciptakan pembalut kecuali nabi. A’isyah pun nurut. Lalu, nabi meminta agar A’isyah duduk di samping nabi. Kemudian, nabi tidur di pangkuan A’isyah.

Itulah yang dilakukan nabi. Romantis banget! Serius... Romantis banget! Wanita mana yang tidak bahagia diperlakukan seperti itu? Mungkin setelah itu A’isyah menangis sejadi-jadinya. Soalnya, sebelum al-Baqarah: 222 wanita bukanlah manusia; sedangkan setelah al-Baqarah: 222, wanita benar-benar dimanusiakan. Oleh nabi, A’isyah dimanja. Oleh nabi, A’isyah mendapat perlakukan romantis. A’isyah bisa mengadu apapun kepada nabi.

Melalui riwayat ini, kita gagal faham apabila hanya mengacu pada terjemah. Riwayat ini memberi informasi mengenai cara nabi mengamalkan al-Baqarah: 222. Nyatanya nabi tidak menjauhi istrinya ketika istrinya sedang haid. Lalu, bagaimana tafsir jauhilah istri pada waktu haid? Alī Ṣābūnī, melaui Rawā’i al-Bayān Tafsīr Āyāti al-Ahkām menjelaskan bahwa, maksud dari jauhilah istri pada waktu haid adalah jangan wik wik dengan istrimu ketika haid. Sudah faham kan apa itu wik wik? Soalnya wik wik ketika haid itu saaaaaakiiiit! Lebih jauh, Alī Ṣābūnī menjelaskan bahwa, wik wik adalah usaha membuahi ovum. Sedangkan haid adalah ovum yang sudah kadaluarsa. Ia menjijikkan, kental, merah kehitam-hitaman, baunya tidak enak, dan sumber penyakit. Apabila memaksa wik wik dengan wanita haid, bagaimana mungkin membuahi ovum yang sudah kadaluarsa? Terlalu banyak bahaya apabila memaksa wik wik dengan wanita haid. Si wanita bisa terkena radang rahim. Si laki-laki bisa terkena penyakit. Apabila wik wik membuahkan hasil, maka akan lahir anak yang cacat.

Inilah al-Baqarah: 222! Al-Baqarah: 222 diturunkan bukan untuk memberi informasi bahwa darah haid itu kotor. Namun, melalui darah haid yang kotor, al-Baqarah: 222 membawa ideal moral yang suci. Al-Baqarah: 222 ingin mengangkat derajat wanita yang senantiasa diinjak-injak oleh laki-laki di zaman Jahiliyyah. Berikutnya, al-Baqarah: 222 juga tidak memerintah untuk menjauhi wanita yang sedang haid. Sebaliknya, nabi sangat mesra dengan A’isyah ketika A’isyah haid. Adapun yang dilarang adalah wik wik dengan wanita haid. Ia adalah sumber penyakit. Dengan begini, wanita haid berhak untuk dimanja, dimengerti, qaulity time, didengarkan, dan segala perlakukan romantis lainnya, seperti nabi memperlakukan A’isyah. Dari uraian ini, dapat disimpulkan bahwa, ideal moral al-Baqarah: 222 adalah pertama wanita juga manusia, karena yang manusia bukanlah laki-laki saja. Kedua, wanita berhak memperoleh haknya sekalipun sedang haid, yang tidak boleh adalah wik wik dengan wanita yang sedang haid.

Loading